Pernah dengar ungkapan, “ganti menteri, ganti kurikulum”? Kalimat ini kerap kali dilontarkan masyarakat ketika terjadi pergantian pemerintahan yang diikuti dengan perubahan kurikulum pendidikan. Seperti pada momen saat ini, Nadiem Makarim telah digantikan oleh tiga menteri baru yang menangani bidang pendidikan dan budaya.
Selama ini, pergantian pemerintahan memang berperan besar dalam menentukan arah pendidikan melalui pembuatan kurikulum baru. Namun, kecenderungan pemerintah untuk mengganti kurikulum setiap kali terjadi pergantian menteri pendidikan, kemudian melahirkan frasa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Lantas, seberapa sering sebenarnya kurikulum diganti? Simak sejarah perkembangan kurikulum dari masa ke masa berikut ini.
Sejarah Kurikulum di Indonesia
Dalam studi berjudul “Sejarah Kurikulum di Indonesia” oleh Alhamuddin yang terbit pada tahun 2014, dikutip Selasa (29/10/2024), kurikulum di Indonesia telah ada sejak 1947. Berikut sejarah perkembangannya.
Kurikulum 1947
Kurikulum “rencana pelajaran 1947” adalah kurikulum pertama yang digunakan oleh bangsa Indonesia. Saat itu, istilah “kurikulum” yang berasal dari bahasa Inggris, yakni “curriculum,” belum terlalu populer digunakan.
Pemerintah mengadopsi istilah “rencana pelajaran,” yang berasal dari bahasa Belanda, “leer plan,” yang berarti rencana pelajaran. Kurikulum ini banyak mengadopsi sistem pendidikan Belanda dan Jepang yang sempat menjajah Indonesia.
Kurikulum “rencana pelajaran” lebih menekankan pada pembentukan karakter, seperti pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Kurikulum ini juga menekankan semangat nasionalisme dengan Pancasila sebagai dasar pendidikan.
Kurikulum 1952
Kurikulum “rencana pelajaran terurai 1952” adalah pembaruan dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini mulai melakukan perincian pada setiap pelajaran, dengan satu orang guru atau pengajar untuk setiap mata pelajaran.
Selain itu, kurikulum “rencana pelajaran terurai,” mulai mengarah pada sistem pendidikan nasional, setelah sebelumnya banyak menggunakan sistem bekas pendidikan kolonial.
Kurikulum 1964
Kurikulum “rencana pendidikan 1964” adalah penyempurnaan dari dua kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini dibuat oleh pemerintah atas dasar keinginan supaya rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang sekolah dasar (SD).
Kurikulum ini memperkenalkan program “Pancawardhana,” yang menekankan pada pengetahuan dan kegiatan yang bersifat fungsional serta praktis. Mata pelajaran dalam kurikulum ini dibagi menjadi lima bidang, di antaranya adalah moral, kecerdasan, emosional dan artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Kurikulum 1968
Perubahan kurikulum pada 1968 terjadi seiring pergantian sistem pemerintahan dari orde lama ke orde baru. Kurikulum ini ditujukan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati yang kuat, sehat, cerdas, terampil, bermoral, berbudi pekerti, dan beriman.
Kurikulum ini mengubah program “Pancawardhana” menjadi “Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus” dengan sembilan mata pelajaran pokok. Mata pelajaran ini lebih bersifat teoritis, dan sedikit praktik.
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 diciptakan seiring dengan munculnya konsep “management by objective,” yang saat itu sedang populer di Indonesia. Kurikulum ini ditujukan agar pendidikan dapat lebih efektif dan efisien.
Kurikulum ini mulai merinci mata pelajaran, dengan adanya Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), atau yang juga dikenal dengan “satuan pelajaran”. Sistem ini merinci setiap pelajaran menjadi sebagai berikut:
– Tujuan Instruksional Umum (TIU)
– Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
– Materi pelajaran
– Alas pelajaran
– Kegiatan belajar-mengajar
– Evaluasi
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 adalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, setelah kurikulum 1975 banyak dikritik karena dinilai memberatkan guru dengan adanya perincian pada setiap pelajaran.
Kurikulum 1984 kemudian memperkenalkan pendekatan proses keterampilan (process skill). Melalui pendekatan ini, pendidikan lebih ditekankan pada proses, tanpa melupakan tujuan yang diusung pada kurikulum sebelumnya.
Kurikulum yang dikenal sebagai “kurikulum 1975 yang disempurnakan” ini turut menciptakan model pembelajaran yang disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Model ini menekankan siswa untuk lebih aktif dalam mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan sesuatu.
Kurikulum 1994
Meskipun kurikulum sebelumnya dinilai berhasil, tetapi banyak sekolah yang dinilai belum mampu menerapkan model CBSA. Akibatnya, alih-alih membuat kelas menjadi aktif, CBSA di beberapa sekolah malah membuat kelas menjadi gaduh dan tidak tentram.
Kurikulum 1994 diciptakan sebagai hasil perpaduan antara kurikulum 1975 dan 1984. Salah satu pembeda dari kurikulum ini adalah munculnya “muatan lokal,” yang menekankan pada pengajaran bahasa, kesenian dan kebudayaan dari setiap daerah.
Namun, kurikulum ini kemudian banyak dikritik karena dinilai memberatkan banyak siswa, dengan adanya muatan nasional dan muatan lokal. Bahkan, kurikulum ini sempat diberi label “kurikulum super padat” oleh masyarakat Indonesia.
Kurikulum 2004
Pergantian orde baru ke reformasi, turut menciptakan kurikulum baru, yakni kurikulum 2004. Kurikulum ini seringkali disebut dengan “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” dengan tiga unsur pokok yang meliputi pemilihan kompetensi, indikator pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran.
Kurikulum 2004 lebih menekankan pada kompetensi siswa yang berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Hasil belajar biasanya dinilai berdasarkan keluasan, kedalaman dan kompleksitas dari pemahaman siswa.
Selain itu, sumber belajar pada kurikulum ini bersifat variatif dan tidak hanya terbatas pada guru sebagai pemberi materi, melainkan dapat berupa sumber-sumber lainnya.
Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 dikenal juga sebagai “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Kurikulum ini melahirkan standar kelulusan yang ditetapkan secara nasional melalui peraturan pemerintah.
KTSP menetapkan standar kelulusan berupa kompetensi yang harus dicapai oleh setiap siswa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk membuat silabus dan penilaian yang disesuaikan dengan daerahnya masing-masing.
Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 adalah hasil pengembangan dari Kurikulum Berbasis Komputer yang sempat diterapkan pada tahun 2004. Kurikulum ini ditujukan untuk mengembangkan pendidikan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Tema utama dari kurikulum 2013 adalah menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif, melalui pengamatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi.
Kurikulum ini menuntut guru untuk merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna melalui pendekatan pembelajaran, pembentukan kompetensi, serta penetapan kriteria keberhasilan.
Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka adalah hasil dari evaluasi kurikulum 2013 yang dinilai terlalu ambisius dan berorientasi pada standar tinggi, tetapi tidak cukup memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk benar-benar memahami materi yang diajarkan, sebagaimana dikutip dari buku Kurikulum Merdeka yang ditulis oleh Dinn Wahyudin dan kawan-kawan pada 2024.
Berdasarkan evaluasi ini, setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kurikulum 2013 dinilai kurang efisien, di antaranya:
Pertama, beban materi pelajaran yang dinilai terlalu banyak dan memberatkan siswa
Kedua, kurangnya keselarasan isi kurikulum
Ketiga, beratnya administrasi guru
Keempat, kurangnya fleksibilitas penerapan kurikulum
Di sisi lain, pandemi COVID-19 yang mengubah metode pembelajaran dari tatap muka menjadi daring turut menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan Kurikulum Merdeka yang ditetapkan pada 2022 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurikulum merdeka pada dasarnya, memberikan fleksibilitas kepada satuan pendidikan untuk menyesuaikan sistem pembelajaran secara bebas atau “merdeka”. Artinya, sekolah bisa mengadopsi kurikulum merdeka, atau tetap menggunakan kurikulum 2013.
Jangan Lewatkan Juga :