PARHAMBITIOUS – Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengungkapkan, baru 38 persen pusat kesehatan masyarakat ( Puskesmas ) di Indonesia yang menyediakan layanan kesehatan jiwa. Untuk itu, Kementerian Kesehatan gencar menggencarkan program pelatihan bagi tenaga kesehatan agar mampu melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa.
Hingga saat ini, 6.811 dari 10.416 puskesmas, atau 65 persen, telah melatih tenaga kesehatan dalam layanan kesehatan mental. Pelatihan ini dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pelatihan bagi pemegang program kesehatan mental di Dinas Kesehatan Provinsi.
“Kemudian Dinas Kesehatan Provinsi akan memberikan pelatihan kepada pemegang program kesehatan jiwa di dinas kesehatan kabupaten/kota yang selanjutnya akan memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan di puskesmas,” kata Imran dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 3 Oktober 2024.
Di Indonesia, kesehatan mental kerap kali digambarkan sebagai fenomena gunung es karena belum meratanya distribusi layanan kesehatan mental, sehingga mengakibatkan banyaknya gangguan kesehatan mental yang tidak terdeteksi.
Hal ini dibuktikan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menunjukkan dari 706.689 jiwa usia 15 tahun ke atas yang menderita depresi, hanya 9 persen yang memiliki akses terhadap pengobatan kesehatan mental.
Imran menyebutkan bahwa pelatihan yang diberikan tidak menjamin penyediaan layanan komprehensif oleh puskesmas secara langsung, termasuk diagnosis dan pengelolaan pengobatan. “Penatalaksanaan juga perlu didukung oleh ketersediaan obat-obatan psikotropika,” tegasnya.
Kenyataannya, 4.943 atau 47,4 persen tidak memiliki obat-obatan psikotropika. “Jika mempertimbangkan tenaga kesehatan terlatih dan ketersediaan obat-obatan psikotropika, hanya sekitar 38 persen pusat kesehatan masyarakat yang memiliki peralatan untuk menyediakan layanan kesehatan mental,” lanjutnya.
Angka 38 persen tersebut setara dengan 3.964 puskesmas. Menurut Imran, Provinsi Yogyakarta dan Kepulauan Bangka Belitung saat ini memiliki persentase puskesmas dengan kelengkapan tertinggi.
Sebelumnya, Imran menyatakan bahwa pelatihan ini diperlukan karena masih banyaknya ketidakpercayaan diri para tenaga kesehatan dalam menangani masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, mereka lebih memilih merujuk pasien ke rumah sakit jiwa, meskipun tidak semua individu yang menunjukkan tanda-tanda masalah kesehatan mental memerlukan rawat inap.
“Saat ini kami sedang gencarkan pelatihan di puskesmas agar semakin banyak puskesmas yang mampu menangani masalah kesehatan mental,” ujarnya saat ditemui di sela acara Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2024 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan di Kuningan, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024.